Rocky Gerung: Politik Kita Politik Citra, Masih Menonton Orangnya

Posted by Diposkan oleh Subkiyadi On 7:10 AM


Kamis, 09/07/2009 14:37 WIBNograhany Widhi K - detikNews
Jakarta - Pemilu Presiden 2009 mencatat point plus dalam hal keamanan. Namun dalam kehidupan berpolitik, Pilpres mencerminkan politik kita sebagai politik yang kurang matang. Tidak ada capres alternatif yang baru dan diputusa pada menit-menit terakhir.

"Politik kita itu politik yang apa adanya. Kurang matang dalam konsep dan tidak ada pertandingan ideologi," kata Rocky Gerung, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (9/7/2009).
Apa pandangan Rocky Gerung atas Pilpres? Bagaimana Indonesia ke depan di bawah kepemimpinan SBY? Berikut wawancara detikcom dengan Rocky Gerung:
Bagaimana menurut Anda tentang Pilpres kemarin, apakah cukup mencerminkan demokrasi di Indonesia membanggakan karena Pilpres berlangsung aman dan lancar, tidak seperti di Iran?
Poin plusnya tidak ada kekerasan. Kondisi publik menerima hasil Pilpres sampai hari ini.
Dalam perhitungan quick count, SBY diprediksi unggul telak, mengapa bisa begitu padahal SBY diserang isu-isu SARA? Apakah ini mencerminkan bangsa Indonesia sekarang punya toleransi yang tinggi dan tidak peduli dengan isu SARA?
Soal itu tentu perlu penelitian lebih dalam apa sebab keunggulan itu. Tapi kalau katanya karena isu SARA, musti dicari variabel apa yang membuat dia unggul. Saya kira isu BLT yang membuat SBY unggul.
Isu yang lain adalah keinginan masyarakat untuk tidak ada perubahan. Kalau ada perubahan seperti ada goncangan kondisi ekonomi. Selama ini tidak ada perubahan. Orang betah hidup dalam ukuran maksimal yang sudah diperoleh selama 5 tahun ini. Ketercukupan kebutuhan pokok.
Yang kedua, 80 persen pemilih kita pendidikannya sampai SMP. Bayangkan, 80 persen tingkat pendidikan pemilih tidak bisa mengolah isu yang agak rumit seperti pertahanan, korupsi. Itu nggak nyampe yang di bawah. Masyarakat nyaman karena kebutuhan pokok sudah terpenuhi.
Ketiga, memang tidak ada calon alternatif. Dari ketiga pasangan itu bukan alternatif semuanya. Semuanya bekas calon yang tampil ulang. Masyarakat berpikir kalau semua bekas calon mending yang sudah ada sekarang.
SBY tetap unggul karena dia tidak tersaingi dalam kebaharuan ide. Ide ekonomi, memenuhi kebutuhan pokok. Sementara JK dan Mega bekas calon bukan orang baru yang datang.
Mengapa Megawati-Prabowo yang mengusung ekonomi kerakyatan dikalahkan SBY yang dituding neoliberal?
Ide itu, teori ekonomi yang disebut neolib atau pro poor pada Mega, bukan ide yang bisa dicerna masyarakat berpendidikan di bawah SMA. Publik menganggap itu ide yang terlalu rumit, pertengkaran yang tidak masuk dalam pertimbanagan untuk memilih.
Yang dilihat itu masih personal, tubuh, performance, bukan ide yang diedarkan dalam politik. Menonton orangnya, bukan substansinya. Nggak ada gunanya membikin debat meski banyak hal menjadi keunggulan debat.
Tahapan demokrasi kita memang masih sampai di situ. 5 Tahun lagi masih juga seperti ini, mungkin 10 tahun lagi ide itu menjadi ukuran terpenting.
Mengapa Jusuf Kalla (JK) yang mengklaim sebagai Pasangan Nusantara juga kalah telak, padahal ide-ide, penampilannya dalam debat dan iklannya bagus?
Orang nggak bisa mencerna isi iklan yang cerdas. Ibu Mega adalah ibu bangsa, penerus proklamator Bung Karno, ide itu yang sudah fix, dan orang nggak berubah.
JK tema-tema ekonomi kampanyenya bagus, unggul, unik, dan bervariasi dibanding SBY yang cuma 'Lanjutkan' itu. Tapi itu nggak masuk dalam pertimbangan politik dan kemampuan mencerna ide masih rendah, dan intelektualnya masih kurang. Itu fakta.
Keadaan yang terjadi memang nggak salah, karena nggak ada oposisi dalam politik. Misal Pak JK di saat-saat terakhir pilih Wiranto, Mega juga di saat terakhir memilih Prabowo.
Nggak ada politisi baru yang masuk dalam putaran kemarin. Semua terlaksana karena pragmatisme. Bukan karena ada 3 tahun sebelumnya melakukan negosiasi politik, tapi di saat-saat terakhir. Politik kita itu politik yang apa adanya. Politik yang adanya apa, ya itu.
Kurang matang dalam konsep dan tidak ada pertandingan ideologi. Semuanya menghindar, tak ada yang berani menjelaskan. Semua berhitung untuk tidak populis. Padahal kalau misalnya neolib memang kenapa? Kan bisa dijelaskan saya punya program lebih cepat mensejahterakan rakyat.
Indonesia ke depan di bawah pimpinan SBY akan seperti apa? Apakah kita layak untuk cukup berharap Indonesia akan menjadi lebih baik?
Tentu setelah pesta selesai di benak publik akan lebih baik. Itu kan harapan normal orang yang mengikuti politik. Kalkulasinya tentu saja bahwa apa bentuk kebijakannya bisa lebih bermutu dengan asumsi neolib? Apakah infrastruktur akan lebih diutamakan dibanding dengan sektor finansial?
Ingatan publik Indonesia kan pendek. 5 Tahun didera kesulitan ekonomi tahun terakhir disiram BLT, Askes, dan sebagainya itu, bisa berubah dalam satu tahun. Kemampuan mencerna poltik sebagai ide belum berhasil. Baru menjadi konsumsi sesaat itu yang justru berbekas.
Apa saja yang perlu dicatat untuk memperbaiki kinerja SBY di pemerintahan yang akan datang?
Pertama korupsi. Jelas. Karena gagasan menekan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sampai sekarang masih ada. Dan beban terbesar adalah kontinuitas pemberantasan korupsi dan tekanan pada KPK terus menerus terjadi selama satu bulan ini. Ada tanda-tanda koruptor fight back.
Kemudian ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 7-8 persen tentu tidak cukup dengan jumlah orang miskin, karena nanti lenyap diserap kemiskinan. Jadi nggak bertumbuh sebetulnya.
Dengan adanya koalisi yang kuat di pemerintahan dan parlemen, bagaimana potensi penyelewengan kekuasaan dan siapa yang bisa mengontrolnya?
Bahaya barunya DPR sangat kuat dikuasai oleh koalisi pendukung SBY. Pemerintahan sangat kuat. Buruk kalau tak ada perimbangan di parlemen.
Satu-satunya adalah civil society atau pers. Itu pun juga dilihat apakah suasana demokrasi mulai terbuka atau mulai ada teguran-teguran (kalau kritis).
Beda kalau Pemilu 2 putaran, karena ada hitungan lain, ada perimbangan hasil Pemilu.
Apakah Golkar tak mungkin menjadi oposisi? Dan bagaimana kalau Golkar bergabung dengan PDIP, apakah cukup kuat mengimbangi kekuatan di DPR?
Kan konsekuensi kekalahan, JK berarti tidak bisa memegang kendali Golkar lagi. Kalau JK masih menjadi pimpinan Golkar masih bisa menjadi oposisi.
Kalau tidak, Golkar akan dikooptasi pemerintahan SBY. Yang punya potensi menjadi Ketua Umum Golkar adalah Aburizal Bakrie yang adalah pendukung SBY.
Golkar tak beroposisi karena ketua Golkar kalah. Maka kalau faksi Golkar yang mendukung SBY yang menang, ya tidak (jadi oposisi).
Di Golkar, Agung (Agung Laksono), Aburizal (Aburizal Bakrie), dan Akbar (Akbar Tandjung) itu adalah 3 orang pendukung SBY. Yang punya potensi menjadi ketua umum Golkar bukan faksi JK, tak mungkin. Komposisi kepemimpinan baru lebih dekat pada kekuasaan.
(nwk/iy)

0 komentar

Post a Comment